Sewaktu itu islam masih baru bertapak dan rasulullah saw masih lagi menetap di kota Mekkah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan menyelinap menyembunyikan diri dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari dua belas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar (penolong Rasul). Mereka sedang dibai’at Rasul (diambil janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai’ah Al-Aqabah Al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi’ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai’at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam. Maka salah seorang dari utusan yang dibai’at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.

Dan pada tahun berikutnya, Rasulullah saw membai’at lagi tujuh puluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai’at ‘Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai’at itu.

Kemudian sesudah Rasullullah bersama sahabatnya berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahahlah yang paling banyak berusaha dan bergiat dalam membela Agama dalam mengukuhkan sendi-sendinya. Dialah yang paling berwaspada mengawasi kegiatan dan tipu muslihat Abdullah bin Ubay (pemimpin golongan munafik) oleh penduduk Madinah yang telahpun bersedia untuk mengangkat Ibnu Ubay untuk menjadi raja sebelum kedatangan Islam berhijrah ke sana,Ibnu Ubay ini adalah seorang yang tidak pernah putus asa dalam berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak mensia-siakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay ini dengan cermat, maka gagallah usaha Abdullah bin Ubay dalam merialisasikan maksud jahatnya terhadap Islam apabila kegiatannya dapat di patahkan.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka dengan kepandaian tulisannya. Dia juga seorang penyair yang handal, apabila bait-bait syair meluncur dari lidahnya, terlihat akan kelancaran yang jitu dan indah didengari.

Semenjak dia memeluk Islam, dibaktikan kemampuan bersyairnya itu untuk mengabdi diri bagi kejayaan Islam. Rasullullah saw sangat menyukai syairnya dan sering meminta beliau untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari,?beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?”

Jawab Abdullah, “Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan.” Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:

“Wahai putera Hasyim yang baik,
Sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia,
Dan memberimu keutamaan,
Di mana orang tak usah iri.

Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu, Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.

Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka, Dan memecahkan persoalan , Tiadalah mereka hendak menjawab atau membela.

Karana itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda bawa, Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa.”

Apabila mendengar demikian Rasulullah menjadi gembira dan redha kepadanya, lalu bersabda, “Dan engkau pun akan diteguhkan oleh Allah.”

Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada ‘umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:

“Oh Tuhan,
Kalaulah tidak karana Engkau,
Nescaya tidaklah kami akan mendapat petunjuk,
Tidak akan bersedeqah dan Solat!

Maka mohon diturunkan sakinah keatas kami, Dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.

Sesungguhnya orang-orang yang telah menganaya terhadap kami, Bila mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang.”

Maka orang-orang Islampun sering mengulangi syairnya yang indah itu.

Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turunnya ayat al-Quranul Karim yang artinya, “Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat.” (QS Asy-Syu’ara: 224). Tetapi kedukaan hatinya menjadi terlipur sewaktu turun ayat yang berikut, “Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman, beramal soleh, dan banyak mengingati Allah serta menuntut bela sesudah mereka dianiaya.” (QS Asy-Syu’ara: 227)

Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karana membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan, “Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!”

Dia juga menyorakkan teriakan perang, “Singkirlah kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikan akan ditemui pada Rasulnya.”

Dan pabila datang waktu perang Muktah. Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan bersedia bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah. Dia berdiri tegak sejenak lalu mengucapkan syairnya:

“Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman,
Keampunan dan kemenangan di medan perang,
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan,
Bertekuk lututku pada angkatan perang syaitan,
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan,
Mati syahid di medan perang!”

Benar, itulah cita-cita kemenangan yang gilang terbilang, pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawaku ke alam syuhada yang berbahagia!

Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang Muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar dua ratus ribu orang! Karana menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung akhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya!

Orang-orang Islam yang melihat jumlah mereka yang sedikit, lalu terdiam dan sebagian yang ada menyeletuk berkata, “Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika kita diperintahkan tetap maju maka kita patuhi.”

Tetapi Ibnu Rawahah, bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap, “Kawan-kawan sekalian! Demi Allah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah. Kita tidak memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah! Ayuhlah kita maju! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenangan atau syahid di jalan Allah!”

Dengan bersorak Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: “Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah!”

Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200 ribu orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya. Kedua-dua pasukan bala tentara itu pun bertemu, lalu bermulalah pertempuran di antara keduanya.

Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah yang gugur sebagai syahid, disusuli pula pemimpin yang kedua gugur menemui syahid Ja’far bin Abi Thalib, dan menyusul pula sesudah itu pemimpin yang ketiga yaitu, Abdullah bin Rawahah. Di kala itu dia mencapai panji perang dari tangan kanan Ja’far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah di antara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajirinya laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.

Ketika dia bertempur sebagai seorang prajurit dan pemimpin, ibnu Rawahah telah menoleh mukanya ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa rasa ragu-ragu dan gentar menjaga barisan perajurit-perajurit yang lain seraya berkata:

“Aku telah bersumpah wahai diriku agar maju ke medan ini,
Tapi kenapa kulihat engkau seolah-olah menolak syurga…
Wahai diriku, bila kau tak terbunuh, kau kan pasti mati jua,
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti…
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini,
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati!
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada)
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati!”

Dia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya. Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, nescaya dia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi waktu keberangkatannya sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadrat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid.

Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya, “Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku, ‘Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!'” “Benar engkau, ya Ibnu Rawahah! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah!”

Sewaktu pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ Syam, Rasulullah saw sedang duduk bercakap dengan para shahabat yang lain di Madinah. Tiba-tiba percakapan baginda nabi saw terhenti, kedua matanya menjadi basah. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang sekeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan yang haru, beliau berkata, “Panji perang yang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, dia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid… Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia bertempur pula bersama panji itu sampai syahid…” kemudian baginda berdiam sebentar, lalu meneruskan ucapannya, “Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan dia juga bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya iapun syahid juga.”

Kemudian Rasul berdiam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula, “Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku di syurga.”

Perjalanan manalagi yang lebih mulia ?
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia ?
Mereka maju ke medan tempur bersama-sama ?
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ?

Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Sallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi, “Mereka telah diangkatkan ke tempatku di syurga??”

Sumber : diolah oleh Hafiz Rois sumber dari Buku Rijal Haular Rasul

By admin

Comments are closed.